Hukum Merayakan Tahun Baru Dalam Islam

Hukum merayakan tahun baru dalam islam

Rayakan Tahun Baru? Hati-Hati, Ternyata Beginilah Hukumnya di dalam Islam !

Moment tahun baru yaitu perayaan akan berakhirnya masa 1 tahun dan menjadi tanda akan dimulainya hitungan tahun selanjutnya.  Di indonesia tahun baru jatuh pada tanggal 1 Januari karena Indonesia menggunakan kalender Gregorian, sama juga dengan kebanyakan negara-negara di dunia.

Kilas Balik Sejarah Kalender Gregorian Melihat sejarahnya, tahun baru yang dimulai sejak tanggal 1 Januari ini diresmikan oleh seorang kaisar bangsa Romawi yang bernama Julius Cesar yaitu pada tahun 46 sebelum masehi. Selanjutnya kembali diresmikan oleh pimpinan katolik kelas tertinggi yang bernama Paus Gregorius XII pada tahun 1582 SH. Lalu proses penetapannya dilakukan oleh orang-orang Barat yang menggunakan kalender Greogorian pada tahun 1752 SH.

Perayaan Tahun Baru, Menjadi Persoalan

Tahun baru biasanya merayakan dengan sukaria, berkumpul bersama dengan keluarga, kolega serta orang-orang tercinta. Biasanya akan berkunjung ke alun-alun kota maupun tempat-tempat lainnya untuk menyaksikan berbagai pertunjukan, seperti pesta kembang api, konser musik, hingga pentas seni budaya.

Meskipun begitu, dalam merayakan tahun baru, ada banyak kalangan dari umat muslim yang mempertanyakan hal tentang hukum merayakan peringatan tahun baru serta mengucapkan selamat tahun baru atau ‘Happy New Year’ menurut kajian agama Islam. Apakah diperbolehkan atau justru sebaliknya?

Artikel lain : Klik Disini

Hukum Merayakan Tahun Baru Dalam Islam !

Sesudah menjumpai beberapa literatur, di temukan keterangan mengenai kebolehan merayakan moment tahun baru selama tidak diisi dengan hal negatif maksiat seperti tindakan huru-hara, balap liar, tawuran, pacaran dan lain-lain.  Hal itu sama dengan pernyataan Guru Besar Al-Azhar Asy-Syarif serta Mufti Agung Mesir Syekh Athiyyah Shaqr (wafat 2006 M). Dalam kumpulan fatwa ulama Al-Azhar beliau telah menyatakan:

وَقَيْصَرُ رُوْسِيَا “الإِسْكَنْدَرُ الثَّالِثُ” كَلَّفَ الصَّائِغَ “كَارِلْ فَابْرَج” بِصَنَاعَةِ بَيْضَةٍ لِزَوْجَتِهِ 1884 م، اسْتَمَرَّ فِي صُنْعِهَا سِتَّةَ أَشْهُرٍ كَانَتْ مَحِلَّاةً بِالْعَقِيْقِ وَالْيَاقُوْتِ، وَبَيَاضُهَا مِنَ الْفِضَّةِ وَصِفَارُهَا مِنَ الذَّهَبِ، وَفِى كُلِّ عَامٍ يَهْدِيْهَا مِثْلَهَا حَتَّى أَبْطَلَتْهَا الثَّوْرَةُ الشُّيُوْعِيَّةُ 1917 م. وَبَعْدُ، فَهَذَا هُوَ عِيْدُ شَمِّ النَّسِيْمِ الَّذِي كَانَ قَوْمِيًّا ثُمَّ صَارَ دِيْنِيًّا فَمَا حُكْمُ احْتِفَالِ الْمُسْلِمِيْنَ بِهِ؟ لَا شَكَّ أَنَّ التَّمَتُّعَ بِمُبَاهِجِ الْحَيَاةِ مِنْ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَتَنَزُّهٍ أَمْرٌ مُبَاحٌ مَا دَامَ فِى الْإِطَارِ الْمَشْرُوْعِ الَّذِي لَا تُرْتَكَبُ فِيْهِ مَعْصِيَّةٌ وَلَا تُنْتَهَكُ حُرْمَةٌ وَلَا يَنْبَعِثُ مِنْ عَقِيْدَةٍ فَاسِدَةٍ

Artinya: “Kaisar Rusia, Alexander III pernah memerintahkan seorang tukang emas “Karl Fabraj” untuk membuat topi baja untuk istrinya pada tahun 1884 Masehi. Proses pembuatan berlangsung selama 6 bulan. Topi itu ditempeli batu akik dan permata. Warna putih dari perak dan warna kuningnya dari emas. Di setiap tahun dia menghadiahkan topi serupa pada istrinya sampai istrinya ditumbangkan oleh pemberontak kelompok komunisme pada tahun 1917 Masehi. Awal mula acara ini adalah suatu perayaan “Sham Ennesim” (Festival nasional Mesir yang menandai dimulainya musim semi) merupakan tradisi lokal Mesir dan berubah menjadi tradisi keagamaan. Lalu bagaimanakah hukum memperingati dan merayakannya bagi seorang muslim?

Tidak diragukan lagi bahwa bersenang-senang dengan keindahan hidup seperti makan, minum dan membersihkan diri merupakan sesuatu yang diperbolehkan selama masih sejalan dengan syariat agama, tidak ada unsur kemaksiatan, tidak merusak kehormatan, dan bukan berangkat dari akidah rusak. (Wizarah Al-Auqof, Al-Mishriyyah, Fatawa Al-Azhar, juz X, halaman 311).

Sama halnya dengan fatwa yang dirilis oleh Mufti Agung Mesir, ulama pakar hadis terkemuka asal Haramain, Syekh Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki, dalam kitabnya menegaskan:

جَرَتْ عَادَاتُنَا أَنْ نَجْتَمِعَ لإِحْيَاءِ جُمْلَةٍ مِنَ الْمُنَاسَبَاتِ التَّارِيْخِيَّةِ كَالْمَوْلِدِ النَّبَوِيِّ وَذِكْرَى الْإِسْرَاءِ وَالْمِعْرَاجِ وَلَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ وَالْهِجْرَةِ النَّبَوِيَّةِ وَذِكْرَى نُزُوْلِ الْقُرْآنِ وَذِكْرَى غَزْوَةِ بَدْرٍ وَفِى اعْتِبَارِنَا أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ عَادِيٌّ لَا صِلَةَ لَهُ بِالدِّيْنِ فَلَا يُوْصَفُ بِأَنَّهُ مَشْرُوْعٌ أَوْ سُنَّةٌ كَمَا أَنَّهُ لَيْسَ مُعَارِضًا لِأَصْلٍ مِنْ أُصُوْلِ الدِّيْنِ لأَنَّ الْخَطَرَ هُوَ فِى اعْتِقَادِ مَشْرُوْعِيَّةِ شَيْءٍ لَيْسَ بِمَشْرُوْعٍ

Artinya: “Sudah jadi tradisi buat kita berkumpul agar menghidupkan beberapa momentum bersejarah, seperti halnya maulid nabi, peringatan isra mi’raj, malam nishfu sya’ban, tahun baru hijriyah, nuzulul qur’an dan peringatan perang Badar. Menurut pandanganku, peringatan seperti ini adalah bagian daripada tradisi, yang tidak terdapat korelasinya dengan agama, sehingga tidak bisa dikategorikan sebagai sesuatu yang disyariatkan ataupun disunahkan. Walau demikian, juga tidak berseberangan dengan dasar agama, sebab yang justru mengkhawatirkan timbulnya keyakinan terhadap disyariatkannya sesuatu yang tidak disyariatkan.  (Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki, Mafahim Yajibu an Tushahihah, Surabaya: As-Shafwah Al-Malikiyyah) (hal: 337-338).

Setelah membaca 2referensi di atas bisa di tarik kesimpulan bahwa : peringatan moment tahun baru dalam pandangan Islam masuk dalam kategori adat dan tradisi yang tidak berkaitan dengan agama. Sehingga, hukumnya bagi seorang muslim boleh saja merayakan pergantian tahun baru selama tanpa diiringi kemaksiatan.

About Chowpet

Seorang Ultramen yang mempunyai hobi, di bidang peternakan dan pertanian khususnya dalam budidaya. Dan kadang menuangkan pengalaman saya ke dalam sebuah artikel

View all posts by Chowpet →